Microsporum gypseum
1)
Morfologi
Microsporum gypseum merupakan
fungi yang umum menginfeksi kulit dan rambut. Kurniati dan Rosita (2008)
melaporkan bahwa penyakit yang disebabkan infeksi fungi ini antara lain tinea
kapitis (infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut) dan tinea favosa (infeksi
jamur pada kulit kepala dan kulit muda).
M. gypseum tumbuh
dengan cepat dan matang dalam 6 hingga 10 hari. M. gypseum menghasilkan
hifa, makronidia dan mikronidia. Makronidia tersebar banyak, fusiform dan
berbentuk simetris dengan ujung bulat, sedangkan mikronidia berjumlah sedikit,
bergerombol dan terdapat di sepanjang hifa (Ostrosky-Zeichner 2012). Koloni
dari M. gypseum tumbuh dengan cepat; menyebar dengan permukaan yang
mendatar dan sedikit berserbuk merah coklat hingga kehitam-hitaman (Brooks et
al, 2005) terkadang dengan warna ungu. Serbuk yang berada di permukaan
koloni mengandung makrokonidia (Rippon, 1974).
Microsporum gypseum merupakan
jamur imperfecti (jamur tidak sempurna) atau deuteromycotina karena perkembangbiakannya
hanya secara aseksual. koloni berwarna kekuning-kuningan sampai
kecoklat-coklatan. Jamur ini sering menginfeksi kulit dan rambut (Jawetz,
1982). Makrokonidia dihasilkan dalam jumlah yang besar. Dindingnya tipis dengan
ketebalan 8-16 X 20 μ, kasar dan memiliki 4-6 septa, dan berbentuk oval.
Makrokonidia terdiri dari 4-6 sel. Mikrokonidia juga dapat nampak, meskipun
jarang dihasilkan, terkadang pula mudah tumbuh pada subkultur setelah beberapa
kali berganti media pada laboratorium. Mikrokonidianya memiliki ciri-ciri
antara lain: berukuran 2,5-3,0 X 4-6 μ (Rippon,1974).
2)
Habitat
Microsporum
gypseum merupakan cendawan keratophilik geofilik. Kelembapan, pH, dan
kontaminasi faeces menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat isolasi fungus M.gypseum pada binatang-binatang domestik (Emmons et al,1977).
3)
Klasifikasi
Sistematika
Microsporum gypseum menurut Dwidjoseputro, 1994 adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Ascomycota
Class
: Eurotiomycetes
Ordo
: Onygenales
Family
: Arthrodermataceae
Genus
: Microsporum
Spesies
: Microsporum gypseum
4)
Fisiologi
Microsporum gypseum memiliki
dinding sel yang mengandung kitin bersifat heterotrof, menyerap nutrien melaui
dinding selnya, dan mengeksresikan enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungannya
(Indrawati dkk.,2006).
5)
Patofisiologi
Seperti
dermatofita yang lain, M. gypseum memiliki kemampuan untuk menginfeksi
jaringan manusia dan binatang yang berkeratin. Konidia dari M. gypseum diletakkan
dan disimpan di suatu lokasi di kulit dimana mereka dapat tumbuh. Konidia
tumbuh secara berangsur-angsur, berkembang membentuk suatu lingkaran (Moschella
dan hurley, 1992). Ia memproduksi keratofilik proteinase yang efektif pada pH
asam dan enzim ini berperan dalam faktor virulensinya (Warnock, 2004).
6)
Cara
Penularan
Jamur
Microsporum gypseum dapat ditularkan secara langsung. Penularan langsung
dapat secara melalui epitel kulit, rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang atau dari tanah. Disamping cara penularan tersebut diatas,
untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor :
a) Faktor
virulensi dari dermatofita
b) Faktor
trauma
Kulit
yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
c) Faktor
suhu dan kelembaban
Kedua
faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela
jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
d) Keadaan
sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor
ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini
lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
e) Faktor
umur dan jenis kelamin
Penyakit
ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, dan pada
wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria
dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi
masih ada faktor-faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu
dan sebagainya), faktor transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilon,
dapat mempermudah penyakit jamur ini. (Wicaksana,2008).
7)
Manifestasi
klinik
Ada banyak manifestasi klinik yang dapat
diakibatkan oleh genus Microsporum, namun hanya ada beberapa penyakit
yang secara khas diakibatkan oleh infeksi Microsporum gypseum baik itu
mengenai manusia maupun mengenai hewan yang biasanya menjadi hewan
peliharaan,
antara lain sebagai berikut:
v Tinea
Capitis
Tinea capitis merupakan salah akibat
dari infeksi dermatofita yang mengenai daerah kulit kepala dan rambut. Keadaan
ini dimulai pada saat fungus berproliferasi pada permukaan kulit kepala
kemudian ia tumbuh ke daerah subepidermis melewati folikel-folikel rambut yang
dilanjutkan dengan proses pembentukan keratin yang akan menggantikan folikel-folikel
rambut (Emmons et al,1977). Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis dengan menggunakan A Wood’s lamp. Rambut yang
terinfeksi akan menunjukkan fluoresensi dengan warna hijau (Moschella dan
hurley,1992).
v Tinea
Favosa
Favus adalah salah satu bentuk infeksi
kronik dari Microsporum gypseum yang mana infeksinya dapat dimulai semenjak
kanak-kanak, dan jika tidak dapat ditangani dengan baik maka penderita akan
menjadi carier selama hidupnya. (Rippon,1974).
v Tinea
Unguium
Tinea unguinum adalah kerusakan pada
dasar kuku yang disebabkan oleh karena infeksi dermatofita terutama oleh Microsporum
gypseum. Kerusakan yang terjadi biasanya dimulai dari tepi kuku. Pada kuku
yang terinfeksi maka akan tampak ukuran kukunya akan mengecil, memiliki batas
yang lebih tegas dibandingkan dengan kuku yang sehat, ada bercak-bercak kuning atau
putih yang tersebar pada basis kuku (Rippon,1974).
8)
Pengobatan
Ø Flukonazol
Flukonazol merupakan bahan yang
diisolasi dari Pennicillium janczewski dan mempunyai antidermatofita. Flukonazol
secara klinis berguna untuk pengobatan infeksi dermatofit pada kulit, rambut,
dan, kuku. Biasanya diperlukan terapi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (Brooks
et al, 2005). Terhadap sel muda yang sedang berkembang flukonazol bersifat
antifungi (Ganiswana,1999). Dalam jamur, flukonazol, berinteraksi dengan mikrotubulus
dan mematahkan gelendong mikotik, menyebabkan penghambatan pertumbuhan (Brooks
et al, 2005).
Ø Terbinafine
Terbinafine adalah zat allylamin yang
telah dibuktikan efektif dan aman untuk terapi infeksi dermatofit. Meskipun ia
tidak aktif untuk menanggulangi candidiasis seperti preparat azol, namun ia
efektif untuk menanggulangi dermatofitosis.
Ø Ketokonazol
Kerja dari ketokonazol yang diberikan
secara oral sama dengan kerja dari derivate imidazol lainnya: mempengaruhi dari
formasi ergosterol. Pada manusia, ia akan memberikan efek pada sitokrom p-450.
Efek ini akan lebih tampak nyata pada sel jamur daripada sel host karena ketokonazol
memiliki kecenderungan untuk mengikat sitokrom sel jamur dari pada sitokrom sel
host. Meskipun demikian, pemakaian preparat ini dalam jangka waktu yang lama
akan mengakibatkan feminisasi, terkadang hepatotoksisitas sirosis. (Ganiswana,
1999).
Ø Itrakonazol
Itrakonazol adalah preparat azol yang
secara ekstensif telah diujicoba di Eropa dan Afrika Selatan. Itrakonazol
memiliki kekuatan antifungi yang lebih kuat dibandingkan dengan ketokonazol.
Ø Amphotericin
B.
Preparat ini berbeda dengan preparat
obat antifungi lainnya. Ia menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel yang sedang
matang. Mekanisme kerja dari amphoterisin B adalah dengan berikatan kuat dengan
sterol yang terdapat pada membrane sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan
membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan
mengakibatkan kerusakan yang tetap ada pada sel. Namun demikian, pengikatan kolesterol
pada membran sel hewan dan manusia oleh antibiotik ini menjadi salah satu
penyebab efek toksiknya. (Moschella dan Hurley,1992)