Minggu, 08 Desember 2013

Microsporum gypseum

Microsporum gypseum
1)   Morfologi
Microsporum gypseum merupakan fungi yang umum menginfeksi kulit dan rambut. Kurniati dan Rosita (2008) melaporkan bahwa penyakit yang disebabkan infeksi fungi ini antara lain tinea kapitis (infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut) dan tinea favosa (infeksi jamur pada kulit kepala dan kulit muda).
M. gypseum tumbuh dengan cepat dan matang dalam 6 hingga 10 hari. M. gypseum menghasilkan hifa, makronidia dan mikronidia. Makronidia tersebar banyak, fusiform dan berbentuk simetris dengan ujung bulat, sedangkan mikronidia berjumlah sedikit, bergerombol dan terdapat di sepanjang hifa (Ostrosky-Zeichner 2012). Koloni dari M. gypseum tumbuh dengan cepat; menyebar dengan permukaan yang mendatar dan sedikit berserbuk merah coklat hingga kehitam-hitaman (Brooks et al, 2005) terkadang dengan warna ungu. Serbuk yang berada di permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon, 1974).
Microsporum gypseum merupakan jamur imperfecti (jamur tidak sempurna) atau deuteromycotina karena perkembangbiakannya hanya secara aseksual. koloni berwarna kekuning-kuningan sampai kecoklat-coklatan. Jamur ini sering menginfeksi kulit dan rambut (Jawetz, 1982). Makrokonidia dihasilkan dalam jumlah yang besar. Dindingnya tipis dengan ketebalan 8-16 X 20 μ, kasar dan memiliki 4-6 septa, dan berbentuk oval. Makrokonidia terdiri dari 4-6 sel. Mikrokonidia juga dapat nampak, meskipun jarang dihasilkan, terkadang pula mudah tumbuh pada subkultur setelah beberapa kali berganti media pada laboratorium. Mikrokonidianya memiliki ciri-ciri antara lain: berukuran 2,5-3,0 X 4-6 μ (Rippon,1974).

2)   Habitat
Microsporum gypseum merupakan cendawan keratophilik geofilik. Kelembapan, pH, dan kontaminasi faeces menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat isolasi fungus M.gypseum pada binatang-binatang domestik (Emmons et al,1977).

3)   Klasifikasi
Sistematika Microsporum gypseum menurut Dwidjoseputro, 1994 adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : Microsporum gypseum

4)   Fisiologi
Microsporum gypseum memiliki dinding sel yang mengandung kitin bersifat heterotrof, menyerap nutrien melaui dinding selnya, dan mengeksresikan enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungannya (Indrawati dkk.,2006).

5)   Patofisiologi
Seperti dermatofita yang lain, M. gypseum memiliki kemampuan untuk menginfeksi jaringan manusia dan binatang yang berkeratin. Konidia dari M. gypseum diletakkan dan disimpan di suatu lokasi di kulit dimana mereka dapat tumbuh. Konidia tumbuh secara berangsur-angsur, berkembang membentuk suatu lingkaran (Moschella dan hurley, 1992). Ia memproduksi keratofilik proteinase yang efektif pada pH asam dan enzim ini berperan dalam faktor virulensinya (Warnock, 2004).

6)   Cara Penularan
Jamur Microsporum gypseum dapat ditularkan secara langsung. Penularan langsung dapat secara melalui epitel kulit, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor :
a)      Faktor virulensi dari dermatofita
b)      Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
c)      Faktor suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
d)     Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
e)      Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya), faktor transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilon, dapat mempermudah penyakit jamur ini. (Wicaksana,2008).

7)   Manifestasi klinik
Ada banyak manifestasi klinik yang dapat diakibatkan oleh genus Microsporum, namun hanya ada beberapa penyakit yang secara khas diakibatkan oleh infeksi Microsporum gypseum baik itu mengenai manusia maupun mengenai hewan yang biasanya menjadi hewan
peliharaan, antara lain sebagai berikut:
v  Tinea Capitis
Tinea capitis merupakan salah akibat dari infeksi dermatofita yang mengenai daerah kulit kepala dan rambut. Keadaan ini dimulai pada saat fungus berproliferasi pada permukaan kulit kepala kemudian ia tumbuh ke daerah subepidermis melewati folikel-folikel rambut yang dilanjutkan dengan proses pembentukan keratin yang akan menggantikan folikel-folikel rambut (Emmons et al,1977). Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dengan menggunakan A Wood’s lamp. Rambut yang terinfeksi akan menunjukkan fluoresensi dengan warna hijau (Moschella dan hurley,1992).
v  Tinea Favosa
Favus adalah salah satu bentuk infeksi kronik dari Microsporum gypseum yang mana infeksinya dapat dimulai semenjak kanak-kanak, dan jika tidak dapat ditangani dengan baik maka penderita akan menjadi carier selama hidupnya. (Rippon,1974).
v  Tinea Unguium
Tinea unguinum adalah kerusakan pada dasar kuku yang disebabkan oleh karena infeksi dermatofita terutama oleh Microsporum gypseum. Kerusakan yang terjadi biasanya dimulai dari tepi kuku. Pada kuku yang terinfeksi maka akan tampak ukuran kukunya akan mengecil, memiliki batas yang lebih tegas dibandingkan dengan kuku yang sehat, ada bercak-bercak kuning atau putih yang tersebar pada basis kuku (Rippon,1974).

8)   Pengobatan
Ø  Flukonazol
Flukonazol merupakan bahan yang diisolasi dari Pennicillium janczewski dan mempunyai antidermatofita. Flukonazol secara klinis berguna untuk pengobatan infeksi dermatofit pada kulit, rambut, dan, kuku. Biasanya diperlukan terapi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (Brooks et al, 2005). Terhadap sel muda yang sedang berkembang flukonazol bersifat antifungi (Ganiswana,1999). Dalam jamur, flukonazol, berinteraksi dengan mikrotubulus dan mematahkan gelendong mikotik, menyebabkan penghambatan pertumbuhan (Brooks et al, 2005).
Ø  Terbinafine
Terbinafine adalah zat allylamin yang telah dibuktikan efektif dan aman untuk terapi infeksi dermatofit. Meskipun ia tidak aktif untuk menanggulangi candidiasis seperti preparat azol, namun ia efektif untuk menanggulangi dermatofitosis.
Ø  Ketokonazol
Kerja dari ketokonazol yang diberikan secara oral sama dengan kerja dari derivate imidazol lainnya: mempengaruhi dari formasi ergosterol. Pada manusia, ia akan memberikan efek pada sitokrom p-450. Efek ini akan lebih tampak nyata pada sel jamur daripada sel host karena ketokonazol memiliki kecenderungan untuk mengikat sitokrom sel jamur dari pada sitokrom sel host. Meskipun demikian, pemakaian preparat ini dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan feminisasi, terkadang hepatotoksisitas sirosis. (Ganiswana, 1999).
Ø  Itrakonazol
Itrakonazol adalah preparat azol yang secara ekstensif telah diujicoba di Eropa dan Afrika Selatan. Itrakonazol memiliki kekuatan antifungi yang lebih kuat dibandingkan dengan ketokonazol.
Ø  Amphotericin B.
Preparat ini berbeda dengan preparat obat antifungi lainnya. Ia menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel yang sedang matang. Mekanisme kerja dari amphoterisin B adalah dengan berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membrane sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap ada pada sel. Namun demikian, pengikatan kolesterol pada membran sel hewan dan manusia oleh antibiotik ini menjadi salah satu penyebab efek toksiknya. (Moschella dan Hurley,1992)